Panji Gumilang

WAWANCARA: Setelah lebih sepuluh tahun reformasi, menurut Syaykh Panji Gumilang, bangsa ini telah mendapatkan nilai kebebasan. Tinggal nanti kita bersama-sama (bangsa), membuat fakta sosial. Sehingga fakta sosial itulah nanti yang mengerem kebebasan kita, bukan kita sendiri, tapi fakta sosial. Artinya, apa yang kita buat, kesepakatan a,b,c,d, sepakat, ketuk palu, nah itulah nanti yang membatasi.

Pembangunan demokrasi dan good governance, menjadi topik ketiga dalam Wawancara TokohIndonesia.com dan Majalah Berita Indonesia dengan Syaykh Panji Gumilang. Di bidang demokrasi, kita sudah ada kemajuan dari yang tidak mengenal memilih presiden secara langsung, menjadi mengenal. Kemudian kalau dianggap benar memilih bupati, langsung. Alaupun Syaykh berpandangan bahwa pemilihan gubernur dan bupati itu tidak harus dilakukan secara langsung, karena UUD 1945 hasil amandemen hanya mengamanatkan dipilih secara demokratis. Jadi bisa saja dipilih oleh DPRD.

Sebab pemilihan kepala daerah langsung itu juga menghabiskan dana besar dan boros. Bahkan memunculkan pikiran break even point-kah atau tidak? Jadi kalau pemilu atau pilkada terutama misalnya sudah melakukan politik uang, bagaimana si bupati atau gubernurnya tidak melakukan korupsi? ”Itulah makanya, tidak terjadi keseimbangan moral kalau sudah seperti itu yang dilakukan. Itu ‘kan namanya jual beli. Orang jual beli itu atau orang dagang berpikir, break even point (BEP). Iya, kadang-kadang macam-macam yang dilakukan. Kalau sudah melewati batas, itu apa namanya?


Berikut ini petikan wawancara dengan Syaykh Panji Gumilang perihal pembangunan demokrasi.

Mengenai pembangunan demokrasi Indonesia yang sudah 10 tahun memasuki fase yang sangat demokratis bahkan euforia setelah reformasi. Kalau Syaykh melihatnya kemajuan apa yang dicapai Indonesia dalam proses reformasi dengan euforia yang sedemikan rupa?


Kalau saya menilai dalam bentuk positif thinking bahwa kemajuan bangsa ini, satu ada nilai kebebasan yang didapatkan. Itu yang mahal. Jadi nilai kebebasan dari segala lapisan. Adapun umpama itu dikatakan euforia dan lain sebagainya. Kan tinggal meletakkan, bukan pembatasan ya, kesepakatan bersama yang berbentuk undang-undang. Tapi nilai kebebasan itu sudah dimiliki. Itu yang positif thinking-nya.

Ada pun perubahan-perubahan yang kita kaget-kaget sedikit, sikap-sikap yang mengejutkan, itu mungkin masih dalam batas kewajaran. Karena, apa? Terlalu lama belum bebas . Sehingga sudah memiliki kebebasan tapi belum menganggap itu bebas. Nah, sekarang mungkin sudah merasa. Rasa terlalu bebas itu akan tumbuh dari dinamika berpikir masyarakat itu sendiri. Dan sekarang mulai menyimpulkan, kebebasan yang dia miliki. Wah, saya koq terlalu bebas, ini koq terlalu begini. Nah, dinamika bangsa itu seperti begitu. Maka, kalau diberi kebebasan jangan dipotong lagi kebebasan itu.

Jadi, bangsa ini sudah memiliki kebebasan, itu salah satu kemajuan yang dicapai. Hal lain?
Itu yang paling inti. Tinggal nanti kita bersama-sama, bangsa membuat fakta sosial. Sehingga fakta sosial itulah nanti yang mengerem kebebasan kita, bukan kita sendiri, tapi fakta sosial. Artinya, apa yang kita buat, kesepakatan a,b,c,d, sepakat, ketuk palu, nah itulah nanti yang membatasi.

Dalam suatu aturan main?
Ya, aturan main.

Dan itu berkaitan dengan proses demokratisasi dan dalam 10 tahun bagaimana Syaykh melihat proses demokratisasi itu?
O, ya. Sangat berkaitan. Itupun sudah ada kemajuan dari yang tidak mengenal, memilih presiden secara langsung, mengenal. Kemudian kalau dianggap benar memilih bupati, langsung. Jadi mengenal, kalau itu dianggap benar. Akan ada pengenalan-pengenalan itu, tapi ‘kan dinamik, tidak statis. Dan tidak boleh itu dikatakan gagal atau berhasil.

Tapi suatu proses dan sudah memasuki fase pengenalan yang akan nanti masuk pada fase berikutnya?
Iya, pada fase pilihan yang pasti.

Kemudian pemilu baru berlangsung, baik legislatif maupun presiden. Dan berjalan dengan baik dari rakyatnya sendiri. Tapi kelihatannya KPU-nya disimpulkan tidak profesional oleh Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga negara yang berkompoten untuk memberi penilaian. Kalau menurut pandangan Syaykh sendiri, mengamati jalan pemilu itu, sebagai salah satu bagian dari proses demokrasi itu tadi yang baru kita alami ini, apa pandangan Syaykh?
Satu, sudah selamat selesai. Tidak banyak goncangan. Yang menang disetujui, yang kalah mengakui. Itu ‘kan nilai akhir. Adapun dalam proses terjadi a,b,c,d, itu namanya diplomasi demokrasi, tapi ujungnya yang kalah mengakui kemenangan yang menang. Kemudian yang menang juga menyampaikan terimakasih pada yang kalah karena kekalahan itu adalah dukungan kemenangannya. Kemudian masih mengajak kerjasama di seluruh lapisan. Ini dalam pandangan positif itu ‘kan selesai. Adapun panitianya dianggap tidak profesional dan sebagainya, kalau yang menganggap lembaga resmi, ya sudah terserah.

Kalau Syaykh sendiri?
Nah, saya tidak terlalu mendalami, haha…

Kemudian ada anggapan proses demokratisasi kita ini, belum membangun kesadaran berdemokrasi, sudah melaksanakan tapi tidak menanamkan kesadaran berdemokrasi, sehingga dinilai karena biayanya besar, malah dianggap boros. Disamping itu, kesadaran berdemokrasi itu tidak terbangun sedemikian rupa, karena banyaknya politik uang. Bagaimana Syaykh melihat ini?
Sesungguhnya demokrasi di Indonesia ini berjalan. Dan politik uang itu sesungguhnya juga bukan dari rakyat. Artinya, rakyat itu bisa jadi minta uang karena memang dikasih. Yang tadinya rakyat tidak minta, juga dikasih, maka terbiasa. Jadi sesungguhnya ini efek dari segala pihak.

Jadi justru kesadaran berdemokrasi di kalangan elit yang buruk?
Mungkin seperti itu, jawabannya. Karena apa? Rakyat itu dikasih ya memilih, nggak dikasih ya memilih juga. Jadi bukan politik uang sesungguhnya itu. ‘Kemampuan’ untuk berpolitik tidak terlalu tinggi. Kalau rakyat sudah milih siapa. Ya nanti, pada waktunya semua akan memilih. Nah, sekarang kamu dikasih, siapa yang menolak? Kalau nggak dikasih, nggak apa. Nggak apa pun kalau nggak dikasih.

Oh, itu berarti rakyat sudah punya kesadaran?
Nah itu, sekarang tinggal yang mengasih ini koq mau ngasih. Karena takut bertarung. Berarti belum percaya diri. Tapi rakyat tidak menyaratkan.

Tapi, menurut Syaykh, kalau politik uang ini masih berlanjut dalam pemilu-pemilu yang akan datang, bagaimana kita mau membangun negara ini menjadi sebuah negara demokrasi yang memang sungguh-sungguh demokratis?
Tapi ‘kan tidak bisa serta merta. Ya, mungkin sekarang, peserta politikusnya atau praktisi-praktisi politik yang akan menjadi anggota itu belum terlalu percaya diri. Atau partai-partai politik juga belum terlalu percaya diri. Suatu saat akan tumbuh generasi-generasi baru.

Apa yang harus dilakukan kira-kira untuk memotong atau paling tidak mengurangi itu?
Dipotong, ya tidak mungkin dipotong. Jadi nanti akan ada generasi yang mengisi lembaga politik itu, baik itu partai apalagi itu namanya pemimpin yang kesadarannya meningkat. Kemudian memberikan didikan kepada konstituen politiknya. Sekarang ‘kan belum ada itu, partai mendidik konstituennya. Atau partai yang mendidik anggota partainya. Itu belum ada.

Jadi nanti kalau itu sudah ada, ada kaderisasi partai, ada informasi-informasi yang rutin dari partai kepada anggotanya. Ada pembinaan-pembinaan secara ekonomi kepada anggotanya. Itu nggak terjadi. Ini belum dilakukan.

Yang jelas dalam pandangan Syaykh, politik uang itu sangat merusak demokrasi?
Iya, kalau namanya membeli orang dengan harga tertentu, itu tidak etis, yang pertama. Jadi secara moral itu tidak terdukung. Kalau secara moral tidak terdukung, apa saja namanya itu. Jadi yang paling bagus itu, membangun kesadaran anggota partai. Tidak hanya pada waktu pemilu, tapi sepanjang masa. Mendidik lagi walaupun tidak ada sekolahannya gitu, tidak ada wujud unit sekolah itu. Nah itu terus, pendekatan. Jadi kampanye sepanjang masa.

Jadi kalau pemilu atau pilkada terutama misalnya sudah melakukan politik uang, bagaimana si bupati atau gubernurnya tidak melakukan korupsi?
Itulah makanya, tidak terjadi keseimbangan moral kalau sudah seperti itu yang dilakukan. Itu ‘kan namanya jual beli. Orang jual beli itu atau orang dagang berpikir, break even point (BEP). Iya, kadang-kadang macam-macam yang dilakukan. Kalau sudah melewati batas, itu apa namanya?

Jadi kalau sudah bupati atau gubernur berpikir (BEP) bagaimana ya?
Iya begitulah. Itu pasti, kalau memang mengeluarkan modal.

Jadi proses demokrasi berbuntut juga ke ekonomi dan penyelenggaraan pemerintahan yang tidak benar. Itu mempersubur korupsi?
Mempersubur tindakan yang tidak bermoral.

Termasuk korupsi?
Satu di antaranya. Tidak bermoral.

Kalau melihat pemberantasan korupsi yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir, kita agak bersemangat adanya KPK. Kalau menurut Syaykh sendiri, sudah setingkat mana pemberantasan korupsi hari ini di Indonesia?
Kalau yang sudah berjalan, ya kita katakan tadi sudah menyemangatkan kita. Tapi ‘kan belakangan ini saling periksa. Nggak tau itu bagus apa tidak, tapi saling periksa. Tatkala saling periksa orang tidak bicara lagi memberantas korupsi, saya sedang diperiksa. Jadi mempertahankan diri yang dipikirkan. Iya mandek.

Tapi menurut Syaykh, seseorang yang diberi mandat dan sudah lebih dulu dinilai sebagai seorang pemberantas korupsi. Tapi justru melakukan korupsi, ibarat seorang pendeta atau ustad justru pelaku dosa yang terbesar gitu ya. Kalau seorang pencuri mencuri, itu semua orang sudah tahu?
Sudah wajar.

Berlagak pendeta atau ustad, tapi malah mencuri! Bagaimana pandangan Syaykh tentang saling periksa ini, orang yang sebenarnya ditugaskan untuk memberantas koruspi, tapi malah saling tuduh dan saling periksa?
Ya itu tadi, moral. Jadi harus ada pendalaman moral masing-masing. Inilah yang kembali kepada nilai-nilai dasar terus dikumandangkan, karena masih seperti itu.

Dalam proses supaya kita yakin lembaga ini memberantas korupsi, itu diawali dari proses seleksi orang-orangnya. Bagaimana menurut Syaykh seleksi ini seharusnya dilakukan?
Yang satu, punya integritas yang jelas. Setelah integritas yang jelas, punya pengalaman untuk masuk ke dalam proses mengetahui bahwa itu berbuat atau tidak berbuat. Terus tadi karena integritas diri itu termasuk moral yang mumpuni itu. Terus mempunyai kemampuan untuk membuktikan, ditetapkan oleh pilihan. Pilihan oleh, biasanya ’kan DPR.

Sesudah ada tim seleksi, diserahkan ke DPR untuk uji kelayakannya dan memilih?
Itu sesungguhnya teknis-teknis yang seperti itu penting tidak penting. Tapi yang paling penting, manusia yang tampil itu, ya, punya integritas dan moralitas yang utuh.

Atau, DPR itu sebuah lembaga politik dan apakah proses memilih itu terpengaruh, karena mereka juga pelaku korupsi gitu ya?
Kan tidak semua. Ya, tapi buktinya kan dikontrol oleh lembaga KPK. Bagus itu. Jadi kalau masih dalam pembelajaran, itu segala macam masih mungkin terjadi.

Atau perlu dicari cara lain. Menurut Syaykh bagaimana cara menyeleksi?
Ini yang agak sulit memberikan jawaban. Karena semua sudah ditempuh dan kita rasakan semua baik oleh semua lingkungan pada waktu pemilihan itu, dikatakan baik cara itu. Tapi masih juga ada kesalahan. Jadi individu dalam memegang sesuatu itu goncang.

Jadi, jangan-jangan nanti KPK ini menjadi begitu, lumpuh?
Terus siapa nanti yang memberantas korupsi. Kalau ada nada seperti itu, ya kita bertanya, lantas siapa? Dulu kan nggak ada, terus diadakan, terus dianggap nggak perlu.

Ya, karena mereka juga korupsi?
Ya, mestinya dipertahankan, diperbaiki. Kalau tidak ada undang-undang yang mendukung, ya dibuat undang-undang. Kalau ada lembaga yang tertinggi, itu ‘kan undang-undang. Nanti buat undang-undang lagi bahwa KPK ini tertinggi, bisa berbuat apa, lagi.

Masih perihal demokrasi, banyak juga pendapat mengenai pemilihan bupati dan gubernur. Karena rata-rata setiap empat hari ada pemilihan di Indonesia, baik bupati atau gubernur. Ada pendapat agar pemilihan bupati dan gubernur dilakukan oleh DPRD sajalah, nggak usah pemilihan langsung. Kalau Syaykh sendiri bagaimana pandangannya?
Harus kembali ke Undang-Undang Dasar. Ada nggak Undang-Undang Dasar yang bupati atau gubernur itu dipilih langsung. Sepengetahuan saya dalam Undang-Undang Dasar yang dipilih langsung itu anggota legislatif kemudian presiden. Kalau kepala daerah, baik tingkat I maupun II itu, dipilih secara demokratis, itu saja. Jadi kalau ada yang mengatakan dipilih oleh anggota DPRD itu juga demokratis. Karena DPRD-nya sudah di seleksi. Nah kalau pertimbangannya segala macam tadi itu, relatif. Tapi kalau Undang-Undang Dasar jelas tidak mengatakan dipilih langsung.

Salah satu dari lingkaran masalah, mengenai Undang-Undang Dasar, bagaimana menurut pendapat Syaykh tentang amandemen-amandemen yang bisa balik-balik lagi?
Sekarang kita masih memegang pada yang ada. Jadi jangan berpikir yang akan diubah, akan diubah. Yang ada itu, seperti begitu. Dulu kan juga Undang-Undang Dasar 1945, sekian panjang tahun tidak pernah diubah, takkala ada omongan sedikit mau mengubah, kan nggak tahan itu orangnya. Nah sekarang sudah berjalan seperti ini dengan perubahan, seperti itu, konteks dengan pilihan kepala daerah tadi, itu satu klausul pun tidak ada yang mengatakan kepala daerah dipilih langsung, ngak ada. Jadi wajar-wajar saja, kalau ada yang berpendapat dipilih oleh DPRD I atau DPRD II, wajar.

Menurut Syaykh sendiri, mana yang dipilih, apakah dipilih langsung atau oleh DPRD?
Kalau saya kan hanya seorang.

Dari pikiran Syaykh?
Iya, kalau dalam bahasan undang-udangnya itu secara demokratis, nah dipilih oleh anggota DPRD juga demokratis.

Ada juga usulan pemilihan kepala-kepala daerah itu dipilih langsung oleh rakyat bersamaan dengan pemilihan presiden?
Itu teknis, boleh-boleh saja. Ada nggak itu, Undang-Undang Dasar-nya. Kalau nggak ada?

Kan bisa diadain undang-undangnya, diamendemen lagi?
Bukan, jangan undang-undang. Jadi karena itu bunyi Undang-Undang Dasar-nya secara demokratis, maka bisa dibuat undang-undang penjabaran demokratis itu apa. DPRD sudah punya hak memilih, alasanya apa. Nanti ‘kan bisa adu argumen.

Karena DPRD sudah dipilih oleh rakyat?
Oleh rakyatkah, apakah. Tapi yang pro kesitu. Tapi kalau saya ditanya, selama Undang-Undang Dasar tidak mengikat, untuk apa cari sulit-sulit.

Karena pemilihan kepala daerah itu juga menghabiskan dana besar?
Bukan besar lagi.

Boros…?
Ya, bukan besar lagi, bukan boros lagi. Itulah nanti berpikir break even point –kah? Akan bisa berlomba-lomba nanti partai itu, memenangkan di satu daerah. Kalau daerah itu sudah dimenangkan oleh partai tertentu, ‘kan oh, sudah jelas nanti yang berkuasa di daerah itu partai ini. Kan enak sekali itu, wong nggak demokratis, mana yang menunjukkan nggak demokratis. Rakyat memilih wakil, wakil itu yang memilih bupati dan gubernur. Kalau nanti presidennya begitu, Undang-Undang Dasar-nya mengatakan dipilih langsung.

Bagaimana pendapat Syaykh tentang adanya suara segelintir orang supaya Undang-Undang Dasar 1945 yang orisinil itu kembali diberlakukan?
Kalau kembali ke sana, mungkin bisa, dan mungkin juga tetap ini. Karena, dulu niat untuk mengubah itu dengan sebuah cita-cita, sebuah perbaikan. Nah sekarang, belum berjalan satu abad sudah diubah. Perubahan dilakukan setelah 52 tahun, setengah abad, Jadi mengujinya kurang matang, kurang garam.

**

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Negara

Semua instansi pemerintah selalu mengatakan akan menegakkan pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance). Tapi di semua instansi pemerintah, bahkan di KPK, korupsi masih merajalela. Apa pandangan Syaykh tentang hal ini?

Belum menyeluruh menghayati dasar negara dan tujuan bernegara, belum menyeluruh. Sehingga karena timpang, maka ketimpangan ini saling memanfaatkan dan saling dimanfaatkan. Toh kalau berbuat begini, kalau tidak ketahuan nggak apa-apa.

Jadi meyakini nilai-nilai dasar negaranya itu formalitas saja. Tidak menjadi satu sikap. Jangan diukur agamalah dulu, kalau agama apalagi. Nilai dasar negaranya saja.

Padahal orang Indonesia dikenal sangat relijius, raj..id?
Ternyata kalau ukuran kerajinan itu sering kita terbohongi. Dengan tidak sengaja berbohong tapi sesungguhnya berbohong. Tapi kalau sudah mendalami nilai-nilai yang dia miliki itu kadang-kadang orang mau bohong pun kita sudah paham.

Berarti kesadaran berbangsa terus ditanamkan?
Bangsa dulu, yang lain-lain bisa diukur. Walaupun itu semua sebabnya karena pemahaman dan pendalaman dan keyakinan keimanannya pada agama yang dianut.

Yang menjadi masalah bagi kita semua, bagaimana cara mengatasinya?
Tadi Anda bertanya, kenapa sih kok sering itu diucapkan. Salah satu di antaranya mengatasi, terus. Itu kesabaran namanya. Sabar terus!

Jadi jihad memberantas koruspi itu, dimana kalau dispesifikkan?
Jangan pernah berhenti meyakinkan bangsa ini, bahwa wadah yang kita miliki ini harus dijaga. Kemudian dasar-dasar negara yang ada ini harus diyakini. Karena semua yang menjadi warga negara ini akan sama menilai dasar itu. Lalu kita praktekkan, jangan pernah lepas.

Presiden dan Wapres kita sudah terpilih. Sebagai warga bangsa, pertama sebagai seorang tokoh, sebagai pemimpin di bidang pendidikan dan kemasyakatan, Syaykh punya harapan untuk presiden yang akan berkuasa sampai 2014. Apa kira-kira harapan Syaykh?
Tanamkan nilai-nilai dasar negara ini pada rakyat. Yang lain akan ngikut, itu semuanya tercantum di situ. Tanamkan menjadi sebuah keyakinan. Nilai dasar ini adalah sebuah nilai yang bisa menghantarkan kepada kesejahteraan

 

0 komentar: